Buku Model Skrining Gangguan Refraksi Mata Pada Anak Berbasis Sekolah
Gangguan penglihatan merupakan masalah kesehatan masyarakat secara global. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada laporan World Report on Vision tahun 2019, diperkirakan ada sekitar 2,2 miliar orang di seluruh dunia yang mengalami gangguan penglihatan, baik gangguan penglihatan jarak dekat maupun jarak jauh. Hampir separuh kasus ini merupakan gangguan penglihatan yang dapat dicegah atau belum ditangani.
Kelainan refraksi adalah salah satu kondisi pada mata yang paling umum dan kelainan refraksi yang tidak dikoreksi merupakan gangguan penglihatan dan penyebab kebutaan kedua di seluruh dunia. Kelainan refraksi pada anak dan tidak dapat dikoreksi akan menimbulkan berbagai gangguan penglihatan dan menyebabkan sulit konsentrasi atau melakukan aktivitas yang dapat mempengaruhi belajar anak.
Kelainan refraksi merupakan salah satu masalah kesehatan mata yang umum terjadi pada anakanak di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Secara global, prevalensi kelainan refraksi pada anak sesuai publikasi The International Agency for the Prevention of Blindness (IAPB) dan beberapa laporan global dari VISION 2020 menunjukkan angka sekitar 19 juta anak, dengan sekitar 12 juta kasus diantaranya bisa diperbaiki dengan intervensi sederhana seperti kacamata atau lensa kontak.
Di Indonesia beberapa penelitian dan data yang tersedia menunjukkan gangguan refraksi mata pada anak di Indonesia memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2013 menemukan bahwa sekitar 26% anak usia sekolah dasar mengalami gangguan refraksi mata di Indonesia.
Namun data terbaru tentang prevalensi kelainan refraksi pada anak usía sekolah berdasarkan penelitian Darusman dkk di tahun 2023 menunjukkan peningkatan drastis hingga mencapai 40%, dengan tingkat koreksi yang hanya sebesar 4% saja.
Studi lain yang dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan adanya perbedaan prevalensi gangguan refraksi mata antara kota-kota besar di Indonesia. Selain Jakarta yang memiliki prevalensi tertinggi, penelitian Halim et al di Bandung tahun 2018 menunjukkan prevalensi kelainan refraksi apda anak usía sekolah mencapai 38%, tidak jauh berbeda dengan Surabaya (35%) dan Makassar (31%).
Tingginya prevalensi ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, lingkungan, dan tingkat kecenderungan masyarakat dalam mengadopsi gaya hidup yang buruk terkait dengan penglihatan. Pada populasi anak usía sekolah, semakin banyak penelitian yang membuktikan adanya hubungan antara kurangnya aktivitas luar ruangan dan penggunaan gawai yang masif sebagai penyebab memburuknya kelainan refraksi anak.
Kelainan refraksi pada anak terjadi ketika mata tidak mampu memfokuskan cahaya secara tepat pada retina, yang merupakan permukaan yang peka terhadap cahaya di dalam mata. Ini mengakibatkan masalah dalam penglihatan jarak dekat (hipermetropia) atau jarak jauh (miopia), atau distorsi penglihatan (astigmatisma) pada anak.
World Health Assembly (WHA) memiliki target global untuk cakupan efektif kelainan refraksi mencapai 40% pada tahun 2023. Namun demikian, hingga kini Indonesia belum memiliki data nasional yang aktual terkait kelainan refraksi mata dan jumlah cakupan intervensi koreksi pada kelainan refraksi mata tersebut.
Dalam hal ini, PERDAMI sebagai organisasi profesi dokter spesialis mata berinisiatif untuk mengembangkan suatu model skrining gangguan refraksi mata di komunitas. Untuk dapat mewujudkannya, maka dilakukan inisiasi program bertajuk “Pengembangan Model Skrining Gangguan Refraksi Mata pada Anak Berbasis Komunitas”.