Berkembangnya teknologi informasi secara digital menuntut para praktisi optik untuk terus meningkatkan kemampuan fisiopatologi penglihatan yang dipengaruhi oleh nutrisi sebagai suplemen dan terapi dalam menunjang tumbuh kembang mata. Untuk itu PP IROPIN menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dan peningkatan kompetensi serta kualitas anggotanya agar mampu memberikan pelayanan yang baik dengan mengambil tema : “ Optimizing Myopia Management: Nutrition, Lifestyle & Vision Therapy."
Sesuai dengan undang undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 264 ayat 4 yang berbunyi “ Salah satu persyaratan yang diperlukan dalam perpanjangan Surat Izin Prak8k (SIP) Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan adalah pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi (SKP)” dan Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2024 pasal 721 yang berbunyi “ Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan prak8k berhak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pengembangan kompetensi, keilmuan dan karier di bidang keprofesiannya “ Webinar merupakan pengejawantahan isi undang-undang nomor 17 tahun 2023 dan Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2024 tersebut agar profesi dapat berkembang secara dinamis dan merata. Pada kesehariannya, seorang Optometris berperan dengan fungsi yang berbeda. Pemberian layanan utama sesuai dengan kewenangan klinisnya.
Disamping itu, profesi lain yang sangat bersentuhan ketika melayani Masyarakat luas dalam bidang Kesehatan mata adalah Dokter Spesialis Mata dan Dokter umum (yang kebanyakan praktik di puskesmas atau di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) yang juga akan langsung sebagai penerima keluhan pasien pertama. Sehingga dengan update pengetahuan tentang Optimizing Myopia Management ini sangat dimungkinkan masyarakat luas akan mendapatkan solusi yang tepat atas permasalahannya.
Glaukoma adalah penyebab kebutaan nomor dua setelah katarak yang menyebabkan kebutaan permanen. Kerusakan saraf optik yang terjadi disebabkan terutama oleh peningkatan Tekanan Intra Okuler (TIO) sebagai faktor resiko utama. Glaukoma di sebut sebagai “ Si Pencuri Penglihatan” karena perjalanan penyakitnya progresif dan tanpa gejala sehingga pasien tidak menyadari hilang nya penglihatan.
Kegiatan Workshop ini bertujuan untuk memberikan penyegaran ilmu dan informasi kepada general ophthalmologist utamanya dalam manajemen penyakit glaukoma.
Glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan di seluruh dunia, dengan glaukoma sekunder menjadi salah satu penyebab yang sering diabaikan. Menurut data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan bahwa sekitar 76 juta orang di seluruh dunia menderita glaukoma pada tahun 2020, dan angka ini diprediksi meningkat menjadi 112 juta pada tahun 2040 (WHO, 2021).
Glaukoma sekunder dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti inflamasi, trauma, dan penggunaan obat-obatan tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa glaukoma sekunder menyumbang sekitar 10-30% dari total kasus glaukoma (Bonomi et al., 2000). Namun, data yang tersedia sering kali kurang memadai, dan banyak kasus tidak terdiagnosis, terutama di negara berkembang.
Salah satu tantangan utama dalam penanganan glaukoma sekunder adalah diagnosis yang sering kali tidak tepat. Gejala yang mirip dengan jenis glaukoma lainnya dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis. Misalnya, salah satu studi menunjukkan bahwa hanya 40% pasien dengan glaukoma sekunder terdiagnosis dengan benar pada kunjungan pertama mereka (Kass et al., 2004).
Tatalaksana glaukoma sekunder juga dapat menjadi kompleks dan memerlukan pendekatan multidisiplin. Terapi yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada saraf optik, yang berujung pada kebutaan permanen. Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan dalam penanganan glaukoma sekunder dapat meningkatkan risiko kehilangan penglihatan yang signifikan (Levine et al., 2017).
Keterlambatan dalam tatalaksana glaukoma sekunder dapat mengakibatkan konsekuensi yang fatal, tidak hanya bagi individu yang terdiagnosis, tetapi juga bagi sistem kesehatan secara keseluruhan. Menurut penelitian terbaru, sekitar 50% pasien dengan glaukoma sekunder yang tidak diobati dapat mengalami kebutaan dalam waktu lima tahun setelah diagnosis (Morrison et al., 2015).
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi medis, dunia kedokteran, termasuk spesialisasi oftalmologi atau kedokteran mata, terus mengalami kemajuan yang signifikan. Inovasi dalam diagnosis, terapi, serta teknologi bedah dan alat medis terbaru terus muncul, memberikan kesempatan bagi para dokter spesialis mata untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatan kepada pasien.
Namun, tantangan dalam dunia medis juga terus berkembang, seperti meningkatnya prevalensi penyakit mata terkait usia, gangguan penglihatan pada anak-anak, hingga kondisi mata yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan gaya hidup. Oleh karena itu, penting bagi para dokter spesialis mata untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka agar dapat memberikan perawatan yang optimal, tepat, dan sesuai dengan perkembangan ilmu medis terkini.
Dengan semangat mengembangkan pelayanan oftalmologi di Indonesia, Jakarta Eye Center (JEC) merasa berkewajiban untuk terus berbagi ilmu dan memperbarui informasi terkini dalam bidang oftalmologi untuk kepentingan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan mata secara menyeluruh.
JEC dengan visinya “Optimizing Eye Sight and Quality of Life” menyediakan pelayanan yang mampu memberikan nilai tambah kepada penderita yang memerlukannya. Oleh karena itu dalam mewujudkan visi tersebut diatas diperlukan kesiapan sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana yang yang memenuhi standard tertentu.
Melalui seminar ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan ketrampilan SDM di bidang oftalmologi.
Glaukoma merupakan serangkaian gejala yang ditandai dengan kerusakan saraf optik secara bertahap dan permanen, dan dapat menyebabkan kebutaan jika tidak diobati. Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya glaukoma antara lain faktor usia, tekanan bola mata tinggi, riwayat keluarga (orang tua atau saudara dengan glaukoma), miopia tinggi (rabun jauh), hipertensi, diabetes dan lain-lain.
Prevalensi glaukoma di Indonesia adalah sekitar 0,46% dari total populasi atau sekitar 4-5 orang dari 1.000 penduduk. Data ini berdasarkan laporan "Situasi Glaukoma di Indonesia" pada tahun 2019. Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas 2007, prevalensi glaukoma di Indonesia adalah sebesar 4,6%.
Pekan Glaukoma Dunia 2025 akan berlangsung dari 9 hingga 15 Maret. Inisiatif global ini, yang diselenggarakan oleh “The World Glaucoma Association”, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang glaukoma, penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah. Tema tahun ini adalah "Bersatu untuk Dunia Bebas Glaukoma," dengan fokus pada menyatukan komunitas di seluruh dunia untuk memerangi kebutaan glaukoma.
Berbagai kegiatan akan digelar, antara lain pemeriksaan mata gratis, skrining glaukoma, maupun seminar untuk pasien dan keluarga. Berdasarkan uraian tersebut, Ilmiah Ramata Inspirasi Sehat (IRIS) Mata Series 1
yang bekerja sama dengan PERDAMI PUSAT dilaksanakan dengan mengangkat topik “Bridging the Vision Gap: Glaucoma Awareness and the Role of Refraction in Early Detection”.
Dengan adanya ilmiah ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tenaga medis sehingga dapat memberikan penangan awal dan pelayanan terutama pada penyakit glaukoma.